sindonewstoday.com, | Kebun Teh Sidamanik di Kabupaten Simalungun bukan sekadar hamparan hijau yang memanjakan mata. Lebih dari itu, ia adalah saksi sejarah, aset ekonomi, sekaligus penopang identitas masyarakat lokal. Dari generasi ke generasi, perkebunan ini telah menjadi sumber penghidupan, simbol budaya kerja, dan ruang sosial yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, upaya alih fungsi sebagian lahan kebun teh patut ditolak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, demi menjaga keberlanjutan ekonomi sekaligus melestarikan nilai sejarahnya.
Jejak Sejarah yang Tak Tergantikan
Perkebunan teh di Sidamanik mulai berkembang sejak awal abad ke-20, ketika perusahaan Belanda membuka areal kebun sekitar tahun 1917. Pabrik pengolahan teh kemudian beroperasi sejak akhir 1920-an dan menjadi salah satu sentra produksi teh di Sumatera Utara. Setelah Indonesia merdeka, kebun ini masuk ke dalam pengelolaan negara dan kini dikelola oleh PTPN IV. Dengan demikian, keberadaan kebun teh tidak hanya merepresentasikan jejak kolonial, tetapi juga perjalanan panjang transformasi ekonomi perkebunan di Indonesia.
Jejak sejarah ini jelas merupakan bagian penting dari identitas Simalungun. Hamparan kebun yang berada di ketinggian 800–1.100 mdpl bukan hanya menyimpan cerita masa lalu, tetapi juga menghadirkan pemandangan khas yang sulit digantikan. Jika alih fungsi terjadi, maka yang hilang bukan sekadar tanaman teh, melainkan juga potongan sejarah dan identitas budaya yang sudah mengakar.
Potensi Ekonomi dan Lingkungan.
Dengan luas mencapai lebih dari 6.300 hektare, Sidamanik memiliki kapasitas produksi yang strategis. Produk teh dari kebun ini tidak hanya beredar di pasar domestik, tetapi juga telah diekspor ke mancanegara, termasuk India, Tiongkok, dan Thailand. Data mencatat, pada semester pertama 2020, lebih dari 460 ton teh asal Sidamanik diekspor melalui Pelabuhan Belawan dengan nilai miliaran rupiah.
Selain aspek ekonomi, kebun teh juga memiliki fungsi ekologis. Areal ini berperan sebagai daerah resapan air dan penyangga ekosistem. Pengalaman sebelumnya menunjukkan, ketika ribuan hektare kebun teh di Simalungun dikonversi menjadi sawit pada 2009, dampaknya terasa pada berkurangnya ketersediaan air dan terjadinya gangguan ekosistem. Jika konversi kembali terjadi, risiko krisis lingkungan akan semakin nyata.
Gelombang Penolakan dari Warga
Rencana konversi sebagian lahan teh Sidamanik telah memicu keresahan. Masyarakat, tokoh adat, serta aktivis lingkungan di Simalungun secara terbuka menyuarakan penolakan. Demonstrasi dan aksi damai muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka menegaskan bahwa kebun teh adalah ruang hidup yang harus diwariskan kepada generasi mendatang, bukan dikorbankan demi kepentingan investasi jangka pendek.
Tuntutan masyarakat ini selaras dengan logika pembangunan berkelanjutan: ekonomi tidak boleh mengorbankan sejarah, lingkungan, dan sosial budaya. Penolakan alih fungsi juga memperlihatkan bahwa warga Simalungun tidak hanya menjadi objek, melainkan subjek yang berhak menentukan arah masa depan wilayahnya.
Seruan kepada Pemerintah
Berdasarkan kondisi tersebut, sudah seharusnya pemerintah daerah maupun pusat menegaskan sikap untuk mempertahankan kebun teh Sidamanik. Ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh:
1. Menolak Alih Fungsi Lahan: Pemerintah harus tegas menghentikan upaya konversi kebun teh ke komoditas lain, karena dampaknya akan merugikan aspek sejarah, ekologi, dan identitas lokal.
2. Penguatan Tata Kelola: Pastikan ada kepastian hukum dan pola kepemilikan yang adil, misalnya melalui model kemitraan atau koperasi yang melibatkan petani lokal.
3. Modernisasi dan Hilirisasi: Tingkatkan kualitas produksi teh melalui teknologi agronomi berkelanjutan, diversifikasi produk (teh organik, teh celup premium), dan branding lokal yang kuat.
4. Pariwisata Berbasis Komunitas: Jadikan Sidamanik sebagai destinasi wisata agro dan budaya dengan melibatkan warga, sehingga manfaat ekonomi lebih merata.
5. Konservasi Lingkungan: Terapkan praktik pengelolaan ramah lingkungan agar kebun tidak hanya produktif, tetapi juga berfungsi sebagai penyangga ekosistem.
Penutup
Kebun Teh Sidamanik adalah warisan sejarah yang tidak ternilai, sekaligus modal ekonomi dan lingkungan yang masih sangat potensial. Gelombang protes masyarakat Simalungun menjadi bukti nyata bahwa kebun ini bukan sekadar lahan produksi, melainkan simbol identitas dan keberlanjutan hidup bersama. Pemerintah perlu mendengarkan suara rakyat, menolak alih fungsi lahan, dan merumuskan strategi pengelolaan yang adil serta berkelanjutan.
Mempertahankan kebun teh Sidamanik berarti menjaga masa lalu, melindungi masa kini, dan memastikan masa depan Simalungun tetap hijau, bersejarah, dan berdaya bagi generasi mendatang.( Penulis : Akademisi, Pemerhati Lingkungan dan Sosial-Budaya, Mentor Pemuda dan Kebangsaan)